Kemandirian Financial Vs Kemandirian Psikologis, Lebih Baik yang Mana Dulu ?
Beberapa kali saya pernah mendapat inbox dari sesama wanita yang curhat soal KDRT yang dilakukan oleh pasangannya terhadap dirinya, baik itu secara fisik atau mental, dan mereka lalu bertekad ingin memiliki bisnis sampingan agar dapat mandiri secara financial, dengan keyakinan bahwa itulah salah satu solusi membebaskan diri dari KDRT yang menimpa dirinya.
Lalu benarkah itu bisa jadi solusi ?
Sementara pada kasus lain saya pernah melihat seorang wanita yang sangat mandiri secara financial namun nyatanya tetap saja tidak bisa membebaskan diri dari kondisi KDRT yang terjadi pada dirinya, malah yang terjadi bahkan lebih parah dari sebelum saat dirinya belum mandiri secara financial... heu heu.
Heu... ekstrim banget ya saya ngomongnya langsung kasus KDRT, bukan apa-apa, karena sebagian wanita yang menginginkan kemandirian secara financial motivasi awalnya karena merasa diri "terkungkung", dari yang hanya karena bosan dengan rutinitas sebagai ibu rumah tangga, atau ingin bebas punya uang sendiri tanpa harus "nodong" sama suami, hingga alasan tertekan karena KDRT.
Seolah kemandirian financial itu identik dengan bentuk pembebasan diri seorang wanita....heu heu.
Wanita yang kerap merasa diri "dipenjarakan" lalu beramai-ramai ingin "bebas" dengan mengikatkan diri pada uang, alasannya... yaa... ingin mendapatkan kemandirian financial, yang jadi pertanyaannya apakah setelah mendapatkan kemandirian financial, perasaan "bebas" itu benar-benar akan dirasakan ? Terus gimana kalau endingnya kok ngga jugak,...xixi, atau jika pun ada yang merasa "bebas" eh malah ujungnya asli beneran "bebas" alias lepas ikatan dari suaminya, sudah jadi rahasia umum saat wanita memiliki kekuatan secara materi maka bersikap taat pada suami seolah menjadi kerja ekstra berkali-kali lipat dibanding saat sebelum memiliki kekuatan materi...heu heu.
Eh...saya ngomong begini bukan berarti nyari bisnis sampingan itu dilarang, saya cuma mau bicara soal motivasi, jika pun ingin memiliki bisnis sampingan, janganlah buru-buru disandarkan pada "materi" sebagai motivasi besarnya, karena itu pondasi yang sangat rapuh banget, bahkan bisa jadi belum tentu jadi solusi jika ingin mendapatkan perasaan bebas.
Sedangkan saat motivasinya kita ubah, bisa jadi usaha bisnis sampingan kita justru akan memiliki pondasi yang sangat kokoh, dan disaat yang sama bisa jadi mampu memperbaiki kondisi rumah tangga terutama untuk yang memiliki kasus KDRT.
Bahwa wanita harus mandiri, saya setuju banget. Namun yaa..jadilah wanita yang benar-benar mandiri, bukan mentransformasi perasaan terpenjara ke dalam bentuk penjara yang lainnya, dari yang awalnya merasa "terpenjara" dengan perannya sebagai "istri" atau "ibu", kemudian mengikhlaskan diri "dipenjara" oleh uang dan materi.
Makannya saya jadi kepikiran sebelum kita buru-buru mengejar "kemandirian financial" kayaknya lebih baik mengejar "kemandirian psikologis" dulu deh, karena ternyata banyak sekali wanita yang secara psikis ga mandiri, makanya dia merasa perannya sebagai "ibu" atau "istri" membuatnya merasa tidak berdaya, padahal seharusnya melalui kedua peran itulah perasaan berdaya itu justru dapat ditumbuhkan.
Ikatan pernikahan atau rumah tangga itu sebuah sistem, dimana target sakinah itu haruslah hasil dari kerja bersama antara suami dan istri, bukan kerja suami saja atau kerja istri saja. Sehingga ini tentu saja bakal sulit terjadi jika peran sebagai "istri" dan "ibu" justru malah membuat banyak wanita merasa tidak berdaya, jika kondisinya seperti ini, yaa... jangan langsung menyalahkan suami dong yah kalau dia seolah sedang "memperdayakan" kita, "mungkin" sebenarnya bukan suami yang sudah membuat kita tidak berdaya, bisa jadi diri kita sendiri yang menciptakannya, sedang suami hanya "menyetujui" saja, yang ditunjukkan dengan fitrahnya sebagai pemimpin yang cenderung memiliki ego kuat.
So.. sebenarnya rasa tidak berdaya yang sudah diciptakan oleh diri kita sendiri akan memantul kepada suami, sehingga ego dia makin kuat, dan makin tidak berdaya memoles fitrah kepemimpinannya. Menurut pendapat saya para suami yang kerap melakukan KDRT atau sebaliknya para suami-suami takut istri adalah jenis-jenis suami yang "tidak berdaya" menghebatkan potensi kepemimpinan yang ada pada dirinya, karena pemimpin sejati itu adalah yang mampu mengayomi bukan main potong kompas dengan bersikap otoriter atau sebaliknya malah takut sama istri. Melakukan tindak kekerasan adalah cara paling primitif menegakkan fitrahnya sebagai pemimpin, sedang lembek pada istri adalah sikap malas mengerahkan segala potensi dirinya, sehingga memilih "manut" aja gimana kata istri :-D.
Balik lagi ke soal ketidakberdayaan wanita, saat saya coba merenung lagi... ternyata bukan peran "ibu" dan "istri" yang membuat kita tidak berdaya, karena ternyata setelah dipikir-pikir melalui kedua peran itulah optimalisasi pemberdayaan diri kita paling maksimal, dimana nantinya powernya akan kepake banget saat kita memutuskan untuk memiliki bisnis sampingan.
Melalui kedua peran itulah sebenarnya fasilitas pemberdayaan diri kita terus terasah, karena kedua peran itu merupakan "bisnis langit" dengan bayaran surga, dimana saat kita tulus top to the max, maka semua potensi diri kita akan keluar maksimal tanpa sisa hingga ke akar-akarnya, dimana nantinya potensi diri itu kepake banget saat kita memutuskan untuk memiliki bisnis sampingan.
Nah... makannya buat para wanita yang ingin memiliki "kemandirian financial" dengan harapan supaya lebih berdaya, pastikan memiliki "kemandirian psikologis" terlebih dahulu dalam dirinya.
Gimana caranya ?
Dengan terus memaksimalkan peran kita di dalam keluarga dengan penuh ketulusan, sehingga melalui peran "ibu" dan "istri" itulah "kemandirian financial" nanti akan diraih. Ini penting supaya perasaan "bebas" itu benar-benar akan dirasakan, bukan hanya sekedar perpindahan bentuk penjara saja, yang asalnya terpenjara karena menjadi "ibu" dan "istri. berubah menjadi terpenjara karena uang. Dan saat "kemandirian psikologis" sudah berhasil diraih, maka proses menuju "kemandirian financial" akan memiliki pondasi yang sangat kokoh, bahkan mampu mengokohkan ikatan pernikahan bukan membuat kita lupa daratan lalu ingat lautan... #eh#.
Dan wanita-wanita yang merasa berdaya seperti ini, perasaan berdaya nya itu akan memantul tuh pada suami, sehingga suami pun akan gigih memoles terus fitrah kepemimpinannya, dengan tidak mau lagi bersikap otoriter atau sebaliknya lembek pada istri dan malas mendidik istri, berubah menjadi laki-laki yang terus mengayomi istri, dimana nantinya akan memantul ke anak-anak juga. So.. endingnya bisnis sampingan yang dijalani akan memiliki pondasi yang sangat kuat, bahkan makin mengokohkan pondasi keluarga.
Mendadak jadi keinget lagi kata-kata Pa Ridwan Kamil, bahwa keluarga itu pondasi peradaban kita.
Semoga ga ada yang tersinggung yaa dengan tulisan ini, ga lagi menyinggung siapapun, aslinya lagi menelusuri motivasi-motivasi diri aja sih hehe.
Comments