Review Milad Pernikahan ke-2 (Part 1)

Sesuai dengan janji tahun lalu, rencananya setiap milad pernikahan mau bikin tulisan evaluasi. Meski terlambat, tapi saya merasa tetep perlu menuliskannya hehe. Setelah laptop sempat opname sebulan, eh begitu balik, saya jadi kayak kena block writing gitu, bingung mau nulis apa, hihi. Tapiiii.... mari kita jebol si mental block ini ah, semangattt.


***************************************************************************

Ibaratnya sebuah proyek, setiap tahun pasti perlu evaluasi untuk mengecek apakah semua yang dilakukan masih sesuai dengan rencana. Dan.... pernikahan adalah proyek besar menuju surga, proyek yang levelnya dunia aja perlu evaluasi, apalagi proyek akhirat seperti pernikahan, kan ?


Jika setahun lalu, PR besar saya adalah move on dari luka-luka perceraian masa lalu, nah... PR besar saya di tahun ke-2 adalah membangun cinta di pernikahan ini. 


Dalam tulisan tahun lalu, sempat saya ungkapkan seputar proses menjemput jodoh, setelah saya memberanikan diri berdoa minta jodoh dan menulis dengan spesifik kriteria calon suami, ternyata Allah memang kirim orangnya, Kun Fayakun, betul-betul sesuai dengan yang saya inginkan. 


Lalu setelah menikah dengan orang tepat apakah pernikahan bisa berjalan lancar tanpa hambatan ? . Tentu saja tidak....xixi.  


Ternyata PR besar saya selanjutnya adalah membangun cinta dalam pernikahan, yang dimulai memperkuat pondasi cinta saya ke Alloh. Banyak pernikahan berakhir, karena faktanya selama mereka menikah tidak sedang membangun apa-apa. Bisa jadi itu juga yang terjadi pada saya dan suami di pernikahan kami sebelumnya. Dan... bangunan cinta bersama pasangan sulit dibangun, kalau bangunan cinta kita kepada Allah pun belum kuat pondasinya. Mencintai Allah yang tidak sekadar kata-kata, tapi betul-betul mengalir dalam darah, terekspresi dalam perilaku. 


So... belajar dari kegagalan di masa lalu, saya berusaha mengambil kepingan-kepingan hikmah yang berguna untuk membangun cinta di pernikahan yang sekarang. 


Buku solo kedua saya yang berjudul "Kugapai Bahagia Bersamamu" adalah proposal grand design pernikahan versi saya, yang saya tulis disaat pernikahan pertama sudah di ujung tanduk. Meski buku itu gagal saya aplikasikan di pernikahan sebelumnya, tapi insya alloh ilmunya masih kepake untuk saya terapkan di pernikahan yang sekarang. 


Dalam bab Pendahuluan, saya menulis, pernikahan adalah wadah tumbuh kembang mental setiap insan. Bahwa pernikahan sehat adalah modal utama mudahnya praktik pengasuhan anak dan pengembangan karir suami dan istri dalam hidup ini. Karir disini bukan melulu jabatan dan kekayaan, tapi lebih ke jalan jihad seperti apa yang akan dipilih suami dan istri demi menjalankan perannya sebagai khalifah di bumi. 

Lalu saya membuka lagi lembar demi lembar buku itu, terutama pada bab "Tujuan Pernikahan". Mengutip dari halaman 31, bahwa kesuksesan suami-istri. bukan terletak pada seberapa hebat dirinya dibanding pasangannya. Bukan juga pada seberapa besar jasa yang sudah dilakukan. Namun lebih pada seberapa tepat posisi dirinya memenuhi ruang kosong yang ada pada pasangan. Lalu di halaman 32, tertulis, Pernikahan menjadi rapuh kala dilandasi dengan prinsip yang melenceng dari asas ketauhidan. Segera perjelas tujuan pernikahan, agar bara cinta Anda dan pasangan tetap menyala. Sumberkanlah cinta Anda hanya dari Allah Ta'alla, maka aliran cinta akan menggelora. Fitrah suami yang ingin selalu mengayomi istri, fitrah istri yang ingin taat pada suami, akan terjaga. Hal-hal inilah yang membuat suami istri terus disibukkan dengan aktivitas membahagiakan satu sama lain.


Ok... confirmed. 

Ibaratnya membuat bangunan, memperjelas tujuan pernikahan adalah pondasinya. Gimana sih definisi memperjelas tujuan ? Ya... tujuan yang dimiliki mampu dispesifikkan dengan detil dan terbayang bentuk tindakannya. Tujuan sehebat apapun, kalau tidak terbayang tindakan konkrit dan target hasilnya, ya... kita tidak akan pernah bergerak kemana-mana. Dan sehebat apapun tindakan dan pencapaian yang diraih namun dilakukan tanpa tujuan yang jelas, ya... sama juga, tidak akan pernah membentuk apa-apa. 


Masih mengambil buku solo kedua saya, halaman 21 , mengutip dari buku The Secret of Self Improvement, Detoks Hati dan Pikiran, karya Okina Fitriana, menyebutkan 4 syarat tujuan yang mampu menggerakkan kita pada spesifikasi hasil :

1. Terdefinisi spesifik dan terukur dalam bentuk perilaku yang dapat ditangkap oleh indra. Kalau merujuk ke tujuan pernikahan versi Al-Qur'an (Q.S Ar-Rum ; 21) agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih sayang. Nah... tujuan dalam 1 kalimat di atas, kira-kira bentuk perilakunya seperti apa ya. Misal : karena kebutuhan fitrah seorang istri adalah taat suami, saya merasa hati saya sakinah saat memasak makanan kesukaan suami. Dari serangkaian kegiatan taat suami biasanya saya pilih 1 aktivitas favorit dulu, dan itu saya jadikan pemantik untuk melakukan aktivitas taat suami yang lainnya, terutama kalau pikiran lagi mumet, dan ujian hidup lagi berderet-deret, tapi saya tetep harus punya skala prioritas. Biasanya....saya mah back to urutan taat aja, dimulai dari taat Allah, taat suami, taat orangtua, baru deh urutan kewajibannya berbaris sendiri dengan rapi, dan saya pilih yang paling saya mampu, yang saya ga mampu, saya skip, atau saya delegasikan kepada orang lain.

2. Anda sendirilah pelakunya dan tidak bergantung pada perilaku orang lain. Karena saya adalah orang yang paling pertama membutuhkan hati sakinah, jadi saya memang menakar ekspektasi tanpa memasukkan respon suami sebagai target hasil.  Saat sudah memilih 1 aktivitas taat suami yang favorit, level bahagia yang mungkin saya jangkau ada di angka berapa, so.... dengan respon apapun yang diberikan oleh suami, kondisi hati bahagia saya sama sekali tidak terpengaruh, karena saya memposisikan suami hanya media saja, dan mengharapkan rasa bahagianya dari Allah langsung. Dengan cara ini, saya betul-betul bisa menciptakan aktivitas-aktivitas bahagia yang sangat konkrit dan saya pertamalah yang merasakan hasilnya. Namun ajaibnya, dengan cara ini selain bisa membuat saya bersemangat melakukan hal-hal lainnya, juga menjadi magnet cinta juga buat suami. Bahkan suami pernah berkomentar, "Terima kasih ya, sudah berjuang mencintai dirimu setiap hari, karena itu mengajariku gimana sih cara mencintaimu." Karena berdasarkan pengakuannya, saking dia mah laki-laki yang mudah bahagia, saya sudah mau dinikahi pun dia sudah bahagia banget, dan dia sudah paham bagaimana membahagiakan dirinya sendiri, cukup dibiarkan aja dengan buku dan komputernya, makan kenyang, tidur cukup, udah deh... beres wkwkw. Sebagai suami dia sudah merasa fullfil dengan apa yang ada, yang sering bikin dia stres justru kalau saya uring-uringan atau nanya ke dia "Kamu sayang aku ga?" dan "Kamu cinta aku ga?" hahah. Peran dia sebagai suami justru jadi ga fullfil saat melihat saya ga bahagia. Jadi aktivitas2 taat suami yang saya lakukan, memang endingnya buat bikin hati saya duluan yang bahagia, di mana suami jadi kecipratan bahagianya juga. Sedangkan aktivitas taat suami yang diminta suami mah, simpel banget, suara saya harus lembut, plus dia butuh dihargai dan dihormati saat dia punya pandangan/keputusan. 

3. Tujuan dideskripsikan dalam kalimat positif yang memberi arah spesifik. Tujuan pernikahan versi saya, selain pengen seperti yang dirujuk dari Al-qur'an (yaitu membuat hati merasa tenang), plus pengan mengaplikasikan statement yang saya tulis dalam bab pendahuluan, yaitu menjadi wadah yang sehat untuk merunning pengasuhan anak, plus juga menjadi wadah pengembangan karir kami berdua. Sekali lagi saya tegaskan, karir ini bukan melulu urusan pencapaian dunia, tapi bagaimana meng optimalkan semua potensi baik yang kita punya, agar kebutuhan kami sebagai khalifah bisa tersalurkan. Misal : suami punya ilmu programming, dan saya punya ilmu konseling, nah... gimana caranya ilmu kami ini bisa manfaat gitu.

4. Selaras dengan nilai-nilai dan menjaga manfaat-manfaat yang sudah ada, plus selaras juga dengan tujuan ibadah kepada Allah. Ini mah jelas ya, bahwa tujuan pernikahan kami harus selaras dengan apa yang Allah mau. Mendadak dejavu, teringat saat flyer undangan pernikahan disebar secara online, suami sempat keberatan dengan kalimat .... keluarga yang baru menjadi usroh thoyyibah, diberikan keberkahan dan menjadi penerus risalah Rasulullah...Dulu doi bilang, duh...bisa ga sih kalimat itu dihilangkan aja, soalnya itu kedengeran terlalu berat, khawatir hidup kita diuji keberatan..heuheu. Tapi.. dulu saya protes balik, Ya ga mungkin saya hilangkan, la wong... Allah kirim kamu datang dalam hidupku, persis setelah aku mengubah doaku yaitu aku ingin menikah karena ingin dianggap pengikut Nabi kesayanganku Rasulullah Muhammad SAW, setelah sebelumnya sempet kepikiran ga mau nikah lagi. Dan... akhirnya doi pun nyerah, tetep membiarkan kalimat itu ada, meski katanya sih jadi deg-degan banget wkwk. 




************************************************************************

Dan..... apa yang suami cemaskan ternyata terbukti hahaha. Ujian-ujian pernikahan kami memang terus aja puputeran di urusan mendahulukan cinta Allah dan Rasulullah. In detailsnya sih kalau diceritakan lumayan konyol euy, malu lah buat diceritain hahah. Tapi buat kami yang menjalani, ternyata lumayan babak belur wkwkwk. Jadi inget statementnya ustadz Hannan Attaki, bahwa ujiannya orang beriman yaitu...urusan hati dan perasaan.... tsaah... GR banget yak, ya.... anggap aja doa pengen masuk dalam golongan orang beriman hihi. 


Tapi....beneran, disaat kami merasa tepat satu sama lain, dan betul-betul bisa saling mengisi kekurangan, sehingga kami merasa sempurna justru disaat kami sadar penuh, bahwa kami ga sempurna, dan kami udah kayak susah terpisahkan gitu alias saling bucin satu sama lain hahaha, eh... Allah menguji kami, yang hikmah ujian-ujiannya teh kayak sama semua gitu messagenya, heii... cinta terhadap mahluk ga boleh melebihi cinta kalian terhadap Allah dan Rasulullah. 


Berkali-kali menangis, berkali-kali tersungkur, berkali-kali merasa hampir menyerah lagi. Subhanallah.....padahal kami tahu persis bahwa kami saling cinta, tapi kenapa yak.... cinta ini seperti membunuhku, tsaahhh.... asa lagu D'Masiv hihi.


At the end, sampai lah di titik penyadaran, Ya ampun.... kita saling bucin, kayaknya sumbernya dari haus cinta, alias hunger love, bukan true love, akibat luka-luka dari pernikahan kami sebelumnya, jadi... kami sama-sama merasa haus kasih sayang tapi akarnya karena merasa sudah jadi pejuang di pernikahan kami sebelumnya, lalu kami "seolah" sedang meminta apresiasi dari pasangan di pernikahan yang sekarang. 


Ga fair banget ya... dulu berjuang buat siapa, kok mendadak minta reward dari pasangan sekarang wkwkw Terutama saya kali ya, karena pernikahan toksik yang saja jalani, saya seolah jadi sosok yang demanding banget ke suami. Kalimat victim become player... itu beneran ada loh. So... warning nih buat sahabat-sahabat yang pernah ada dalam pernikahan KDRT, jangan lelah melakukan proses healing, supaya kita ga berpeluang melukai pasangan di pernikahan yang baru.


Finally ... saya sadar penuh, bahwa saya lah yang paling harus diwaspadai merusak bangunan cinta dalam pernikahan yang baru ini. So ... saya berdoa sekuat tenaga hampir di setiap helaan napas, meminta Alloh agar membersihkan saya dari luka-luka pernikahan sebelumnya. Tapi.... saya seolah kehabisan energi, dalam setiap sholat saya menangis.... Ya Alloh... tolong saya, izinkan saya jadi orang baik, kasih saya ide, gimana caranya menumbuhkan lagi pohon cinta di hati saya?, saya ga mau berubah jadi monster akibat tubuh saya tenggelam oleh luka-luka saya sendiri.


Lalu.... di beranda medsos berseliweran lah tayangan umroh hampir setiap hari, dan getarannya luar biasa, saya bener-bener ga bisa menahan diri untuk menangis, menahan rindu yang rasanya menggila setiap hari. Akhirnya muncul ilham.... Ya... Allah... apa saya harus umroh lagi ? Kan tahun 2017 sudah, masa saya harus berangkat lagi, kerasa egois banget, padahal anak-anak kan masih butuh biaya kuliah. Tapi.... entahlah, setiap sholat istikharah, malah keinginan untuk umroh semakin kuat. 


Tiba-tiba terbersit dalam lubuk hati saya, tahun 2017 kan saya umroh buat lapor Allah demi ingin menguatkan keputusan saya bercerai, saya nangis-nangis minta disayang Alloh saat sedang susah. Lalu setelah Alloh bereskan semua, dan Alloh sudah kasih jodoh baru yang sesuai keinginan, kok saya ga lapor lagi. Kesannya saya datang ke Alloh cuma pas susah doang, giliran udah hepi, malah sibuk mengejar cinta suami, lupa sama Alloh-nya. Emangnya umroh tuh gunannya buat curhat kesusahan doang, masa ga kepikiran umroh hanya untuk bersyukur ? Jleb... saya nangis kenceng, Astagfirulloh... Ya.. Rabb, ampuni aku. Kalau memang benar, ini panggilanMu, saya diundang kembali ke Baitullah, hanya untuk bersyukur, I will do... Ya Rabb. Biidznillah.... Engkau pasti mampukan, uang kuliah anak-anak akan Engkau cukupkan, Aamiin Ya Rabbal'alamiin.


Qodarullah.... sebelum saya berniat umroh khusus untuk pernikahan ini, suami sempat dapat berita akan ditugaskan ke Abu Dhabi dan bisa sekalian umroh. Namun umroh yang diniatkan nebeng tugas kerja, ternyata tidak semudah yang dibayangkan birokrasinya ya. Saya keliling nyari beberapa travel yang mau bantu keluarkan visa umroh, tapi dengan kondisi suami yang harus kerja dulu di Abu Dhabi, qodarullah.... ga ada yang mau euy. Saat itu cuma sahabat saya saat kuliah, seorang menejer di Arminareka Perdana yang menyanggupi. 


Ujian selanjutnya yaitu kepastian berangkatnya malah diundur terus. Dan untuk mengisi waktu dan menunggu tanggal keberangkatan dari kantor suami, saya malah jadi jatuh cinta dengan kegiatan-kegiatan Syiar Baitullah yang diadakan Armina, jadilah saya aktivis syiar Baitullah juga, ya itung-itung memantaskan diri sebagai orang yang layak diundang ke Baitullah, gitu pikir saya.  


Lalu sampailah pada isyu, kayaknya suami batal berangkat ke Abu Dhabi dan gagal umroh, dapat berita itu setelah saya pontang-panting ngurusin birokrasinya, rasanya tuh gimanaaaaa gituuuu hihi.  


Dan.... saya bertanya lagi ke Alloh tentang niat khusus saya sendiri, pengen umroh syukur. Subhanallah....ini gimana ya Alloh? masa iya saya harus berangkat sendiri ? Kan... tujuannya untuk mensyukuri pernikahan, masa jodoh barunya malah ga keangkut hahahah. Tapi.... setelah saya sholat istikharah lagi berkali-kali untuk memantapkan niat, eh... bisikan hatinya tetep bilang saya harus berangkat.


Akhirnya saya memantapkan niat umroh untuk diri saya dulu saja, karena saya yang paling pertama membutuhkan bahagia dalam pernikahan ini, dan saya yang paling pertama membutuhkan bangunan cinta dalam pernikahan ini semakin kokoh, so... saya ingin ambil action, mematok tanggal keberangkatan umroh persis di tanggal wedding annivesary hehe. 


Saya hanya berbisik pada Allah, Ya ... Allah.... ini hanya urusan antara aku denganMu saja, aku hanya ingin mensyukuri pernikahan yang sekarang, sekaligus ingin memurnikan niat pernikahan ini, hanya untuk Engkau saja, tidak ada yang lain, Buatlah hamba jatuh cinta hanya padaMu saja... Ya Allah...


Jika nanti saya gagal membawa suami ke hadapanMu di depan Baitullah, saya tetap akan mensyukuri pernikahan ini, sekaligus akan saya jadikan momen istigfar, bisa jadi... saya sebagai istri yang banyak dosa, sehingga membuat dia gagal terbawa dalam proyek umroh syukur ini. Tapi.... jika berhasil, mampukan hamba terus....terus... dan terus menjadi hamba yang bersyukur, dengan menjadikan pernikahan kami sebagai kekuatan dakwahMu, Ya Rabb.


Lalu...... gimana ceritanya suami bisa keangkut di umroh kemarin ? Penasaran dengan kelanjutannya ? Yuk.... meluncur ke part 2 yaaa. 



To be continue part 2












Comments

Popular posts from this blog

Catatan Workshop Psikodrama , Jakarta, 3 -4 Februari 2024

Giveaway "Bahagia Ketika Ikhlas"

Review "Out of The Truck Box"