Ikhlas dengan kegagalan yang ada benarkah sebuah bentuk syukur?

Pernah merasa gagal dalam hidup? Saya yakin semua orang pasti pernah mengalaminya, entah itu gagal dalam skala besar, atau gagal dalam skala kecil, tapi pasti ada lah saat-saat dalam hidup dimana kita merasa semua rencana yang kita susun ternyata tidak berjalan sesuai dengan yang kita harapkan.

Dan saya pun termasuk dalam irisan komunitas orang yang pernah mengalami gagal dalam hidup, namun seiring dengan perjalanan waktu dan berkembangnya proses kematangan diri, ternyata saya mengalami sebuah metamorfosa pemikiran yang cukup signifikan tentang cara pandang saya terhadap sebuah kegagalan. Adanya perubahan cara pandang itu juga ternyata membuat respon tubuh dan pikiran terhadap kondisi gagal yang saya terima menjadi berbeda.

Masih ingat dalam benak saya, ketika saya masih dalam masa remaja, nilai-nilai ulangan yang jelek, atau gagalnya saya masuk ke sekolah-sekolah favorit ternyata sudah berhasil membuat saya merasa jadi orang paling gagal sedunia, dan respon saya saat itu adalah marah-marah dan menangis, saat itu saya berpikir dengan marah dan menangis, semua rasa sedih akibat kegagalan akan berkurang, dan memang rasa sedihnya berkurang, walau masalahnya tidak akan pernah hilang. Dengan pola pikir yang masih sangat apa adanya, ternyata respon seperti itulah yang bereaksi dalam tubuh dan pikiran saya ketika menghadapi sebuah kegagalan.

Kemudian memasuki masa dewasa, dimana masalah yang datang ternyata jauh lebih banyak dari masa remaja, yang artinya bentuk kegagalan yang saya terima juga ternyata jauh lebih banyak lagi dari masa remaja. Akhirnya mau tidak mau membuat saya berpikir ternyata marah-marah atau menangis tidak pernah membuat kegagalan yang ada berkurang derajatnya, dan tidak pernah membuat saya menjadi manusia yang jauh lebih baik. Dan kemudian saya berpikir bahwa ikhlas dan bersyukur menerima kegagalan yang ada adalah cara terbaik. Saat itu saya pikir dengan ikhlas dan bersyukur menerima kegagalan yang ada, adalah respon terbaik yang seharusnya saya bentuk dari tubuh dan pikiran saya, sehingga membuat hidup saya jauh lebih tenang. Disamping itu dengan membandingkan kondisi orang lain yang punya penderitaan yang jauh lebih buruk dari saya, saat itu saya berpikir akan membuat hidup saya jauh lebih bersyukur, sehingga mampu sedikit melupakan kegagalan yang ada karena saya bisa fokus hanya kepada keberhasilan yang saya punya.

Tapi seiring dengan berjalannya waktu, ternyata saya mengalami sebuah metamorfosa pemikiran lagi terhadap apa yang disebut gagal. Rasanya kok aneh ya, dengan saya “seolah” sedang merasa ikhlas dan bersyukur dengan kegagalan yang ada, dan hanya mengingat keberhasilan yang saya punya, nyatanya malah membuat hidup saya menjadi stagnan. Mengambil pilihan hidup dalam zona nyaman, tanpa saya mau berusaha mencari tahu gagalnya itu apa, sebenarnya bagian sebelah mana nya sih sesuatu yang sudah membuat saya gagal.

Akhirnya saya berpikir lagi, jangan-jangan sikap saya yang tampak seperti seolah sedang ikhlas dan bersyukur dengan keadaan gagal yang saya terima bisa jadi hanya sebuah pembenaran atas jiwa saya yang tidak mau berusaha mencari tahu penyebab kegagalan saya. Jangan-jangan saya tidak sedang dalam bersyukur dengan gagal yang saya terima, tapi sebenarnya saya sedang menghindari kegagalan itu sendiri.

Proses menghibur diri dengan hanya mengingat keberhasilan yang saya punya, dan melupakan kegagalan yang ada, bisa jadi merupakan cermin dari keangkuhan saya yang tidak pernah merasa saya ini memiliki kekurangan sehingga saya tidak layak gagal. Pun proses menghibur diri dengan melihat ke sesama, dimana ada orang yang lain yang mungkin hidupnya kurang beruntung dibanding saya, bisa jadi karena saya ini saking susahnya ikhlas menerima keberhasilan orang lain, sehingga saya malah baru bisa bahagia ketika ada orang yang jauh lebih susah dari saya, lebih kasarnya lagi, bisa jadi saya ini tidak sedang dalam rangka bersyukur, tapi sebenarnya saya sedang dalam rangka bahagia di atas penderitaan orang lain, karena kenapa saya hanya ingin mendapat perasaan syukur saja harus repot-repot mencari orang-orang yang lebih menderita dari saya, kenapa saya tidak mau melihat diri saya sendiri seutuhnya, lengkap dengan kegagalan dan keberhasilan yang saya punya, ketika saya mampu berjabat tangan dengan keberhasilan yang saya punya, kenapa saya harus repot-repot mencari kegagalan orang lain hanya untuk berjabat tangan dengan kegagalan yang saya punya, kenapa saya tidak mau dengan berani berjabat tangan langsung dengan kegagalan yang saya sendiri, tanpa harus ada perantara kegagalan orang lain didalamnya.

Ternyata pola pikir ikhlas dan syukur semu terhadap kegagalan yang saya punya itu, tanpa saya sadari telah membuat hidup saya berada dalam sebuah lingkaran gagal yang jauh lebih besar lagi. Karena ternyata gara-gara itu, target-target saya terhadap sebuah keberhasilan menjadi turun derajatnya akibat ditutup oleh adanya pembenaran bahwa ikhlas dengan kegagalan yang ada adalah bentuk rasa syukur saya. Disaat yang sama juga ternyata saya sudah memberi ruang di hati dan pikiran saya bahwa tidak ada yang perlu saya cari dari sebuah kegagalan saya itu, tidak ada yang harus saya perbaiki dari sebuah kegagalan yang saya punya, karena akhirnya hati dan pikiran saya sibuk disibukkan dengan berbagai cara menghibur diri, yaitu dengan mengingat terus keberhasilan-keberhasilan yang saya punya, apalagi makin ditambah dengan mencari orang lain yang lebih menderita supaya hati saya lega, makin tenggelam lah saya pada zona nyaman yang mungkin berhasil membuat saya tidak meluncur jatuh dalam keterpurukan akibat kegagalan, tapi ternyata telah gagal membuat saya masuk ke dalam kondisi pengembangan diri saya menjadi seseorang yang lebih matang dan berkualitas.

Padahal sejatinya sebuah kegagalan sebenarnya hanyalah sebagai sinyal bahwa ada sesuatu yang salah dalam sebuah proses pembentukan diri kita, dan ketika kita berhasil menjadi seseorang yang berani berjabat tangan dengan kegagalan itu, sinyal salah itu akan kita tangkap dengan sempurna, dan kita akan dengan mudah fokus pada perbaikan, tanpa perlu berlindung dari konsep menghibur diri yaitu dengan hanya mengingat keberhasilan kita, atau sibuk mencari penderitaan orang lain, agar kita merasa nyaman dengan kegagalan kita, dan kita tidak akan merasa terpuruk.

Akhirnya saya berpikir, saya tidak ingin terjebak lagi dalam sebuah konsep ikhlas dan syukur semu terhadap sebuah kegagalan yang saya alami dan saya bertekad ingin menjadi manusia ikhlas dan syukur yang sejati dalam menghadapi sebuah kegagalan. Artinya saya harus berani memandang kegagalan berdiri sendiri tanpa sibuk mencari tameng lain hanya agar saya tidak terpuruk, sama beraninya dengan ketika saya menghadapi keberhasilan, yang ternyata selalu berhasil berdiri sendiri tanpa tameng yang lain.

Sejatinya kegagalan dan keberhasilan adalah sebuah pasangan yang akan selalu berganti posisi silih berganti sebagai hasil dari rangkaian panjang proses pembentukan kematangan diri kita. Kegagalan adalah sinyal salah dari sebuah prosesnya, sedangkan keberhasilan adalah sinyal benar dalam rangkaian proses tersebut. Dengan mampu memandang sama kondisi gagal atau berhasil yang terjadi dalam hidup kita, kita tidak hanya akan berhasil membuang rasa terpuruk dalam pikiran kita, tapi lebih dari itu kita akan berhasil menangkap dengan sangat fokus sinyal salah yang dipancarkan dari sebuah kegagalan itu, dan kemudian akan membuat kita dengan sangat sigap beusaha keras mencari tahu apa penyebab kegagalan itu. Setelah kita tahu penyebabnya, kita juga akan mampu dengan ringan menset pola pikir kita, bahwa kita akan mudah memperbaikinya, karena tameng-tameng penghibur diri yang mengganggu konsentrasi kita untuk berubah memperbaiki kesalahan sudah hilang.

Dan ternyata setelah mind set seperti itu sudah mulai terprogram baik di kepala saya, saat ini buat saya gagal atau berhasil adalah sebuah kepastian yang ada dalam hidup, ketika gagal saya tidak larut dalam kesedihan, pun ketika berhasil saya tidak larut dalam sebuah kebahagiaan yang memabukkan sehingga saya lupa daratan.

Tapi jangan puas juga dengan kondisi asal jangan terpuruk ketika gagal, karena itu akan menjebak kita ke dalam sebuah konsep ikhlas dan syukur yang semu , yang akan membuat kita masuk ke dalam kegagalan lebih besar lagi, yaitu menjadi manusia statis, maka masuklah kita ke dalam konsep ikhlas dan syukur yang sejati, yaitu yang berani berjabat tangan dengan sebuah kegagalan sama halnya ketika kita berani berjabat tangan dengan keberhasilan.

Comments

Akhsayanty said…
teh Rena

awesome :)
nuhun teh...
rena puspa said…
haduh....dibaca mitha uy....jd pgn ngagubrag....hahah...grogi.com

sstss...btw tulisan ini teh rencananya mo aku lombain....doain yaa....menang....halagh :-p....aminn deng...hihihi

Popular posts from this blog

Catatan Workshop Psikodrama , Jakarta, 3 -4 Februari 2024

Giveaway "Bahagia Ketika Ikhlas"

Review "Out of The Truck Box"