ADAB MENGELUH PADA SUAMI


Ummu Sulaim binti Milhan nama wanita itu. Ia menikah dengan Abu Thalhah Al Anshari dengan mahar keislaman calon suaminya. Dan hasil pernikahannya dikaruniai seorang putra. 
Suatu hari putra Abu Thalhah dan Ummu Sulaim sakit keras, sedang Abu Thalhah harus tetap menjalankan usaha perniagaannya. Dan Allah berkehendak mengambil anak kecil itu ketika sang ayah sedang tidak di rumah.
Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya "Janganlah kalian memberitahukan kepada Abu Thalhah akan kematian putranya. Biar aku sendiri yang menyampaikannya." Sementara jasad sang putra terbaring tenang di kamar sebelah.
Kemudian Ummu Sulaim mengenakkan busana yang paling bagus. Dia merias diri secantik mungkin dan memasak makanan istimewa kesukaan Abu Thalhah. Ketika suaminya pulang, Abu Thalhah segera menanyakan bagaimana kondisi sang putra yang ditinggalkan dalam kondisi sakit.
Ummu Sulaim menjawab, " Dia sekarang jauh lebih tenang dari sebelumnya". Jawaban ini sangat melegakan bagi Abu Thalhah, padahal tentu yang dimaksud Ummu Sulaim "lebih tenang" yang berbeda dengan yang dipahami suaminya.
Karena merasa tenang, maka Abu Thalhah menyantap makanan istrinya, setelah itu istrinya memperlakukan dengan sangat mesra layaknya pengantin baru. Lalu "shadaqah" pun selesai ditunaikan Abu Thalhah, hingga ia merasa tenang dan tentram. Malam ini seolah menjadi malam pengantin mereka yang kedua.
Ending cerita, sang istri menyampaikan tentang berita kematian anaknya kepada sang suami dengan bahasa yang paling indah, yang menunjukkan keikhlasan beliau dengan kematian anaknya.


************


Kisah di atas di ambil dari buku "Jalan Cinta Para Pejuang" karya Ustadz Sallim A Fillah, dalam buku aslinya sang penulis ingin menyampaikan hikmah bahwa anak yang dimiliki sesungguhnya hanya titipan, karena sejatinya semua hanya milik Allah. 
Namun saya ingin melihat dari sudut pandang yang berbeda dari kisah di atas, yaitu tentang adab menyampaikan "keluhan" pada suami. 

Luar biasa yaa wanita ini, bahkan berita kematian anak saja disampaikan pada suami setelah mendapati suaminya dalam kondisi tenang dan siap menerima "keluhan". 

Lalu bandingkan dengan diri kita (eh sayah ding xixi), sudah benarkah adab menyampaikan "keluhan" pada suami ? Seberapa seringkah kita menyampaikan keluhan pada suami setelah menunggu suami tenang dan tentram? Sudah tunaikah hak suami untuk wilayah "perut" dan "dibawah perutnya" saat kita menyampaikan keluhan padanya ?.


Zaman emansipasi kebablasan seperti sekarang, dengan berbagai kehebatan yang dimiliki perempuan setelah berstatus sebagai istri, kadang kita kelupaan menjaga adab menyampaikan keluhan pada suami. Dan saat adab ditabrak lalu suami menjadi defence dan akhirnya jadi cuek, endingnya banyak istri yang ekstrim ga mau curhat sama sekali semua masalahnya pada suami, lalu menganggap dirinya keren karena sanggup menyelesaikan semua masalahnya sendiri tanpa campur tangan suaminya sama sekali. 


Padahal rugi banget kalau ga bisa sharing sama suami, karena rumah tangga itu sebuah sistem, sekeren-kerennya istri menjalankan semuanya sendiri, tetep tiangnya ga akan kuat tanpa keterlibatan suami, lagipula banyak anak bermasalah justru saat tidak ada keterlibatan suami yang seharusnya berperan sebagai ayah. Jadi yang harus diperhatikan adalah cara melibatkannya, jangan buat suami menjadi "kerdil" karena gaya istri yang sotoy.


Fitrahnya laki-laki itu sebagai pemimpin, pahami itu... Maka ego dia akan terusik, saat istri mengeluh. Yang ketangkep dalam benak laki-laki saat melihat istrinya mengeluh adalah dia suami yang gagal, istri ga bahagia artinya dia gagal jadi suami, karena fitrah terdalam yang Allah titipkan padanya ingin selalu membahagiakan istri. 


Naah saat perasaan gagal sudah melingkupi dirinya, maka seluruh kemampuan dia sebagai laki-laki otomatis menurun. Makanya ga akan efektif menyampaikan masalah pada orang yang merasa gagal. 


Namun jangan konyol juga dengan bersikap ekstrim ga mau curhat sama sekali pada suami, karena sejatinya laki-laki bangga saat dicurhati istrinya, tentu saja rasa bangganya baru muncul saat si istri menceritakan masalahnya dengan tidak membuat suami merasa "kerdil", namun sebaliknya buatlah dia merasa hebat dengan curhatan kita, libatkanlah dia dengan cara membuatnya merasa hebat, jangan memosisikan dia seperti asisten kita, catet yaa... Fitrah laki-laki itu jadi pemimpin bukan jadi asisten apalagi jadi pembantu.

grin emoticon
Dan saat kita berhasil melibatkan dia dengan membuatnya merasa hebat, Maka rasakanlah energi yang besar akan mengalir dalam tubuh kita, saat kita rutin sharing dengan suami soal apapun. 

Mau tau saat suami merasa bangga dicurhati istri ?? Dia akan sangat "all out" membantu meringankan beban istrinya, karena "be a hero" untuk wanita itu fitrah terdalamnya lelaki. 

Namun jangan salah, definisi "be a hero" versi laki2 itu beda jauh dengan yg dipahami banyak wanita zaman sekarang. Dengan gempuran paham feminis seperti sekarang, "be a hero" versi perempuan yang diharapkan ada pada suaminya, sering tanpa sadar memperlakukan suami itu seperti asisten bukan pemimpin, sehingga akhirnya komunikasi suami istri pun putus, dan banyak anak bermasalah justru bersumber dari putusnya komunikasi antara suami dan istri. 


Dan saat istri berhasil memaksimalkan potensi kepemimpinan suami dalam bagian masalah rumah tangga yang ada, maka percayalah kemampuan laki-laki memaksimalkan perannya sebagai suami dan ayah akan makin bersinar, sehingga dia akan makin melesat karirnya dalam mencari nafkah dan performa dia mengasuh anak pun akan makin luar biasa. 


Maka mari kita belajar pada Ummu Sulaim tentang adab mengeluh pada suami, agar potensi kepemimpinan suami dapat terus bersinar. Berjuang untuk terus melibatkan suami sebagai bagian dari solusi masalah dengan tetap memosisikan dirinya sebagai pemimpin. Jangan merasa bangga saat berhasil menyelesaikan semua masalah tanpa keterlibatan suami, karena jangan salah banyak suami yang terjebak selingkuh saat istrinya terlalu mandiri, alasannya simpel hanya karena dia merasa jadi suami yang gagal melihat istrinya tidak pernah melibatkan dirinya. Dan tragisnya bisa jadi selingkuhannya pun lebih buruk dalam segala hal dibanding istrinya, karena yang dikejar oleh suami "hanya ingin merasa berhasil" menjadi laki-laki di mata istri... That's all... Itu doang.



Lalu apa posisi kita menjadi rendah saat kita terus memaksimalkan diri dalam ketaatan pada suami ? Percayalah.... Fitrah terdalam seorang istri itu adalah taat pada suaminya, saat taat dilakukan dalam balutan ridho Allah, maka kekuatan dahsyat akan mengalir deras dalam tubuh kita, sehingga potensi diri kita sebagai istri dan ibu akan makin menghebat, atau jika kita seorang wanita karir, bisa jadi karirnya makin menjulang, saat taat pada suami dijadikan prioritas utama. 



Taat disini bukan identik nurut abis seperti sapi yang dicocok hidungnya yaitu taklid buta tanpa berpikir, kondisi taat yang dimaksud adalah kemampuan untuk terus memosisikan suami sebagai pemimpin, jadi tetap ada lah kewajiban mengingatkan suami jika salah, namun dengan tidak lupa menjaga fitrahnya sebagai pemimpin meski harus dalam posisi mengingatkan kesalahannya.


Jangan merasa rendah saat berjuang untuk taat, karena percaya saja pada fitrah yang sudah Allah titipkan pada seorang istri, yaitu kekuatan seorang istri justru dari ketaatannya pada suami, nah nikmatilah bahwa saat menjadikan laki-laki selalu sebagai pemimpin, itu artinya kita mendapat fasilitas untuk selalu mendapat perlindungan dari suami. Jika Allah sudah kasih fasilitas istimewa ini pada diri kita, maka jangan sia-siakan, jangan silau dengan paham feminis yang selalu menyuruh kita setara dengan laki-laki, karena aslinya itu justru meminimalkan kekuatan kita. 



Jika saja semua istri paham bagaimana caranya memaksimalkan potensi kepemimpinan suami, bisa jadi kekerasan rumah tangga mungkin bisa diredam, karena laki-laki itu bukan manusia verbal seperti perempuan, sehingga saat dirinya merasa terancam sebagai suami yang gagal, dalam ketidakberdayaannya mengelola dirinya yang "merasa gagal", seorang laki-laki "terpaksa" memilih cara kekerasan hanya demi mendapatkan fitrah terdalamnya sebagai seorang pemimpin, karena laki-laki tidak selihay perempuan dalam berbicara menyampaikan isi hatinya.


Maka... Sekali lagi... Mari belajar pada Ummu Sulaim tentang bagaimana adab mengeluh pada suami, jika kita selama ini sering mengeluh suami yang tidak paham diri kita dan tidak mau terlibat dalam hal pengasuhan anak, apa mungkin bisa jadi kita lah yang menjadi penyebab patahnya potensi kepemimpinan dia karena kita yang kurang gigih memaksimalkan potensi dirinya sebagai pemimpin.



Pantas saja surganya wanita yang sudah menikah yaitu cukup dengan taat pada suaminya, karena sungguh tidak mudah membumikan definisi taat yang pas sesuai porsinya. Namun saat kita berhasil melaksanakannya, maka rasakanlah surga dunia akan kita rasakan bahkan sebelum hari penghisaban datang, karena memiliki suami yang gigih mencari nafkah, gigih mendidik anak plus sangat menyayangi istri sudah menjadi surga dunia tersendiri bagi kita sebagai istri, bukan ?!

Wallahu'alam

Comments

Popular posts from this blog

Catatan Workshop Psikodrama , Jakarta, 3 -4 Februari 2024

Giveaway "Bahagia Ketika Ikhlas"

Review "Out of The Truck Box"