Membentuk Mental Antikorupsi dari Rumah
(sumber : COMOSA connect)
Iseng share ulang naskah lama aah, dulu sempet diikutkan lomba Madrasah Antikorupsi tahun 2016, alhamdulillah dulu berhasil masuk di urutan ke 57 dari 341 naskah yang masuk. Meski ga jadi pemenang, tapi rasanya masih ok buat diposting yaa.
===========================================================
Tindakan korupsi yang terjadi di negri ini seolah sudah terstruktur dan masif, membentuk sebuah perilaku yang membudaya, sehingga memberantasnya pun tidak mudah. Ibarat kita ingin menyingkirkan sebuah pohon, namun kita hanya memangkas daun-daunnya saja, sedangkan akarnya tetap kita biarkan. Maka yang terjadi pohon itu bukannya musnah bahkan semakin subur saja tumbuhnya.
Maka mari kita mencari tahu sebabnya, jangan-jangan penyebab munculnya perilaku korupsi ada dalam rumah kita. Karena sebesar apapun semangat kita mengubah dunia, semua akan sia-sia saja jika tidak dimulai dari diri sendiri, dan semangat perubahan yang dimulai dari diri sendiri, mungkin memiliki efek nyata dalam mengubah sekitar, meski bisa jadi yang dilakukan sangat sederhana.
Munculnya perilaku korupsi berawal dari sikap tidak jujur. lalu apakah sikap tidak jujur itu hanya identik dengan berbuat curang atau tindakan merugikan negara dan orang lain ?. Sesungguhnya esensi dari bersikap jujur yaitu berani menjadi diri sendiri, dan bangga menjadi diri yang apa adanya. Saat sikap seperti ini mengakar kuat pada diri setiap orang, rasanya tindakan korupsi atau manipulasi itu akan otomatis terhindar dengan sendirinya.
Karena orang-orang yang mampu bersikap apa adanya, memiliki keyakinan sangat tinggi atas segala potensi yang dimilikinya, dimana semua potensi dirinya itu mampu menghebatkan dirinya meski sesekali kegagalan datang menghadang. Dan sikap itu juga yang akan mengantarkan seseorang menjadi pejuang yang gigih namun tidak mudah tergoda untuk mencari jalan pintas saat meraihnya.
Sebaliknya orang yang tidak yakin dengan potensi dirinya, maka dia akan terus gelisah dengan pencapaian yang diraih oleh orang lain, sehingga akhirnya mendorong dia untuk melakukan cara apapun demi meraih sesuatu yang diraih oleh orang lain. Bisa jadi awalnya cara yang dilakukan masih halal dan dalam batas kewajaran, namun jika sikap itu masih mengakar kuat, maka lama-lama cara tidak halal pun akan dilakukan demi mengejar apa yang diinginkannya tersebut.
Manipulasi yang levelnya sampai merugikan orang lain dan negara, bisa jadi dimulai dari kebiasaan kita yang suka memanipulasi diri di depan orang lain agar selalu terlihat hebat. Tidak berani jujur pada diri sendiri alias menipu diri demi penilaian orang lain bisa jadi merupakan bibit kecil yang membentuk karakter manipulatif.
Seorang ibu merupakan madrasah utama bagi anak-anaknya, maka tentu sangat penting mengecek pola asuh yang sudah dilakukan, jangan-jangan pola asuh yang kita terapkan justru membuat anak kita memiliki mental korup dan manipulatif.
Atmosfer pendidikan zaman sekarang begitu sarat dengan persaingan, dan tanpa sadar orangtua berlomba-lomba membuat anak-anaknya larut dalam segala kompetisi yang ada, jika perlu cara-cara di luar kewajaran pun dilakukan hanya agar membuat anaknya selalu menang.
Memperkenalkan anak tentang adanya kompetisi tentu saja bagus, karena anak memang harus paham medan juangnya. Dalam berbagai lini kehidupan nyatanya semua orang memang akan berhadapan dengan kompetisi, dan tentu saja anak harus kenal akan hal itu . Namun membuat anak tidak menjadi dirinya lagi hanya demi memenangkan semua kompetisi itu tentu dapat menghancurkan mental anak, dan menjadi bibit pembentuk karakter manipulatif.
Lama-lama anak akan berpikir bahwa orangtuanya hanya menerima kehebatan dirinya saja, maka agar selalu diterima orangtuanya dia harus terus berhasil, kalau tidak berhasil, yaa dia akan lakukan cara apapun supaya berhasil, karena dia khawatir jika gagal maka orangtuanya tidak akan menyayanginya lagi.
Adanya rasa takut tidak diterima orangtua saat gagal atau kalah, tentu membuat anak tidak paham bagaimana caranya menerima sisi lemah dirinya, sehingga pelan-pelan dirinya terus sibuk memanipulasi diri agar selalu terlihat hebat di mata orang tuanya. Bisa jadi awalnya masih cara yang halal dan wajar, namun saat cara tersebut tidak terkejar, maka dia akan mulai menggunakan cara-cara yang curang.
Padahal kekuatan sejati itu bermula dari pengetahuan detil tentang apa saja kelemahan yang ada pada diri kita, namun jika orangtua tidak memberi ruang untuk itu, maka anak tidak akan pernah berhasil memiliki kekuatan sejatinya, dia akan terus menjadi pribadi yang hobi memanipulasi diri dan tidak berani menjadi diri yang apa adanya.
Lalu bagaimana caranya agar anak paham dengan kekuatan sejatinya namun tetap selamat dalam berbagai kompetisi ?!. Yang paling penting yaitu penerimaan. Berikan ruang saat anak gagal atau salah, namun jangan terburu-buru mengambil alih solusi, biarkan dia belajar dari kesalahannya, dan menemukan solusi baru hasil dari pembelajaran atas kesalahannya tersebut.
Didiklah anak untuk selalu berani menghadapi setiap kompetisi apapun dalam hidup ini, dan didik anak untuk berani bertanggung jawab saat salah atau gagal, dengan selalu memberikan mereka kesempatan untuk memperbaikinya. Jangan suka membanding-bandingkan prestasi anak dengan siapapun, namun bandingkan prestasi dia masa kini dengan masa lalunya. Buat mereka paham bahwa mereka itu diterima orangtuanya dengan utuh, baik sisi lemah atau sisi hebatnya, sehingga nantinya mereka akan selalu bangga menjadi diri yang apa adanya, dan mereka juga yakin bahwa memenangkan kehidupan ini tidak usah repot-repot menjadi orang lain, cukup menjadi diri yang apa adanya lengkap dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Maka mari kita cek kembali pola asuh terhadap anak-anak kita dirumah, sudahkah kita mendidik anak menjadi pribadi yang berani jujur menjadi dirinya ? Jika sudah, maka kita sudah turut membantu negara membebaskan negri ini dari mental korup dan manipulatif yang sudah merajalela. Namun jika belum, jangan menyerah, mari kita mulai saat ini, mulai dari diri sendiri, jangan ragukan langkah perubahan sekecil apapun, karena hasil yang besar selalu dimulai dari langkah awal yang sederhana.
Catatan tambahan :
Orang yang dituntut selalu sempurna dari kecil, pada akhirnya tubuhnya akan membuat sistem manipulatif demi survival dirinya. Ketika merasa bersalah, atau tertangkap basah memang bersalah, saat dia tidak pernah diberi ruang untuk mengetahui apa itu salah, dan tidak dilatih bagaimana mengelola salah karena terlalu banyak tuntutan kesempurnaan, maka tubuhnya makin tersistem "automanipulatif" dan menghalalkan segala cara saat dia menginginkan sesuatu. So.. latih terus jiwa ksatria saat anak bersalah atau berbuat salah, agar dia mampu berdamai dengan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangannya. Ketika paham dengan clear apa itu salah, maka proses meminta maaf dan memaafkan pun akan fokus untuk perbaikan diri dan sesama, bukan sekedar kalimat maaf yang justru membuat orang lain merasa bersalah dan harus terus-menerus bertanggung jawab menanggung semua kesalahan dirinya.
Comments