My Inner Journey (Part 2)




Setelah sekian lama menjalani hidup dengan berbagai roller coasternya, plus limpahan karunianya, sampailah di titik penemuan, bahwa yang benar-benar saya inginkan dalam hidup saat ini ternyata hanya ingin dimampukan menjadi sosok yang tidak pernah lelah memperbaiki diri. Rasanya sudah capek juga mengejar target-target di luar kebutuhan yang ini. Saya sudah dibanjiri berbagai hadiah dari Allah, yang saya inginkan sekarang hanyalah memiliki hati yang semakin bersih, jiwa yang semakin tenang, dan hidup semakin bahagia.


Faktanya, proses perbaikan diri ternyata ibarat sajadah panjang sampai akhir hayat. Ketika sudah berhasil masuk ke pintu awal perbaikan diri dengan cara mengakui diri kita tidak baik-baik saja, ternyata tidak cukup berhenti sampai disitu, karena setelahnya kita pun harus rela diperbaiki. Dan.... proses utama perbaikan diri adalah evaluasi diri, terutama di area poin-poin kesalahan tanpa harus tergoda menyalahkan diri sendiri.


Qodarullah.... Allah selalu memperjalankan saya dari satu kejadian ke kejadian berikutnya, mungkin itulah sajadah panjang proses perbaikan diri yang Allah kirim untuk saya. Berharap.... inilah tanda Allah mendengar doa saya ini yaa. 


Salah satu kejadiannya yaitu sebagai berikut :


Menjelang tidur malam, tiba-tiba saya mendapat message dari seseorang yang saya pun tidak kenal nomornya.


"Saya peserta webinar teteh yang bahas soal mengatasi depresi pada ibu rumah tangga".

"Oh iya. Gimana teh, ada perlu apa ya?"

"Kebetulan ada santri binaan di rumah tahfidz yang kelihatannya terkena depresi. Apakah teteh bisa bantu?, usianya 15 tahun, sepertinya korban KDRT".

Beberapa saat kemudian, dia kirimkan video si anak yang sedang berteriak-teriak histeris. 

"Subhanallah.", komen saya.

"Teteh bisa datang kan? nanti kami jemput."

"Duh... tapi saya belum punya kapasitas menangani orang yang kena histeria begitu, nanti saya alihkan ke psikolog klinis yang saya kenal atuh ya."

"Teh... saya pernah datang ke rumah teteh da, waktu acara hari ibu. Pengennya mah teteh dulu yang tengokkin, tolong saya, teh. Please... teeh".

Duh... saya tertegun, saya kan hanya konselor, bukan psikolog dan bukan dokter juga. Bukannya ga mau bantu, tapi saya takut salah kasih treatment. Setelah berpikir lama, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengabulkan keinginannya, ga tega melihatnya heuheu.


"Boleh saya minta alamat Rumah Tahfidznya, teh?", tanya saya.


Lalu beliau menshare alamat yang ternyata tidak jauh dari rumah saya. 


"Oh...masih deket rumah ternyata ya. Ok deh, saya coba lihat dulu ya, kalau saya ga sanggup akan saya alihkan ke psikolog klinis ya."


"Muhun teteh. Dicoba dilihat dulu saja, ga apa-apa. Hatur nuhun pisan."


Keesokkan harinya, tepat jam 7 pagi saya sudah meluncur ke lokasi.  Setibanya di sana, saya bertemu dengan pemilik rumah, yang sekaligus menjadi pengelola santri-santri di tempat tersebut. Beliau mengabarkan, si anak yang histeris sudah diruqyah, sehingga gejalanya berhasil mereda. Namun saat proses ruqyah mengalami muntah-muntah dan sempat ada pingsan juga, jadi dia dipulangkan ke rumah kontrakannya yang tidak jauh dari rumah tahfidz tersebut. Lalu pemilik rumah inisiatif untuk memanggil ibu si anak untuk datang , karena qodarullah.... si ibu pun sempat histeris saat dilakukan proses ruqyah, tapi pagi itu masih bisa beraktivitas normal. 


"Barangkali teteh jadi ada bayangan kalau sudah mengobrol dengan ibunya, terus-terang kami bingung dengan kondisi anaknya", ujar si pemilik rumah.


Beberapa saat kemudian, ibu si anak pun datang. Tanpa harus repot menggali, dari bibir beliau sudah meluncur keluar berbagai ekspresi emosi yang dirasakan. Selama kurang lebih 1 jam, saya menyimak semua kisahnya. Berkali-kali keluar dari bibirnya bahwa dirinya tidak layak bahagia, asal anaknya selamat dan bahagia, itu sudah menjadi pelipur lara hatinya. Padahal dia sekarang sudah mendapat pekerjaan menjadi salah satu guru di rumah tahfidz tersebut, mendapat tempat tinggal juga atas kebaikan seseorang yang lokasinya tidak jauh dari rumah tahfidz.


Kehidupan masa lalunya yang penuh dengan siksaan dan penderitaan, seolah membuatnya dirinya  terpenjara dalam sebuah keyakinan "Aku tidak layak bahagia", namun dia berharap anak-anaknya bisa mendapat kebahagiaan di kehidupan masa kini dan masa depannya. 


"Wios.... cekap ibu nu ngarasakeun, wios ibu anu menderita, anak-anak mah teu kedah.", ujar si ibu dengan nada tersendat-sendat.


Yang mengiris hati adalah, menurut penuturan pemilik rumah, si anak sempat bercerita di belakang ibunya, sudah tidak sanggup melihat kesedihan ibunya, bahkan si anak sampai histeris begitu, karena terlalu memaksakan diri mematok target demi ingin menghentikan kesedihan ibunya.


Masya alloh ya.... hati bahagia seorang ibu justru harta karun terbesar seorang anak, dan bahagia sempurna ternyata bukan dengan cara mengorbankan diri. Betapa kesulitan hidup bertubi-tubi saat kita tidak sempat membingkainya dengan hikmah, ternyata tanpa sadar membuat belief keliru, bahwa kita tak layak bahagia, bahkan luka-luka tersebut seolah menguburkan tools syukur kita meski kita sedang diguyur sejumlah karunia.


Kita memang tidak bisa memberi cek kosong pada anak, ingin membahagiakan mereka tapi hati kita sendiri tidak bahagia.


Pada akhir pertemuan, si ibu itu mengucap terima kasih berkali-kali, karena saya sudah menyimak seluruh kisahnya selama lebih dari 2 jam, namun saya merasa justru saya lah yang mendapat sesuatu darinya, selain karena saya memang tidak melakukan treatment apapun selain mendengar, disamping itu saya seolah mendapat penyadaran, bahwa kita memang harus terus meminta kepada Allah agar dibantu meluruhkan luka dan mengikhlaskan kejadian menyakitkan, karena itu adalah cara kita meng ON kan tools syukur, sehingga limpahan karunia dapat kita nikmati rasa bahagianya.


Wallahu'alam.













Comments

Popular posts from this blog

Catatan Workshop Psikodrama , Jakarta, 3 -4 Februari 2024

Giveaway "Bahagia Ketika Ikhlas"

Review "Out of The Truck Box"