My Inner Journey


 

Salah satu setoran tulisan dari peserta kelas Nubar yaitu bercerita tentang perjuangannya sebagai student PhD, yang lokasinya tidak di Indonesia, selain itu dia juga bercerita tentang seseorang yang dia temui yang kebetulan sesama student Phd juga, dengan pekerjaan utamanya sebagai lecturer dan therapist.


Ada satu bagian yang membuat saya terperangah yaitu, si therapist saat ingin bercerita tentang dirinya tanpa harus merasa bersalah, harus menenggak minuman alkohol dulu, so..dia bisa ringan bercerita sangat apa adanya karena kondisinya sedang mabuk. Cerita-cerita si therapist tersebut ternyata begitu mengenaskan, masa kecil yang gelap, pasangan hidup yang mengecewakan, tuntutan keluarga besar yang tidak ada habis-habisnya.


Cerita tersebut membuat hati saya tergelitik, "Hua... bisa jadi untuk seseorang yang mengalami trouma berat sampai harus segitunya yaa untuk sekadar bebas bercerita tanpa rasa bersalah, karena dalam kondisi normal dengan tuntutan hidup yang dahsyat dia seolah harus bersikap seperti orang yang baik-baik saja."


Mendadak saya teringat salah satu course mate saya dulu di Malaysia, dia memutuskan mengambil jurusan master konseling karena ingin memutus rantai keluarga besarnya yang hampir semuanya pecandu alkohol, sedangkan dia sendiri adalah seorang apoteker yang giat sekali sosialisasi tentang bahaya minuman beralkohol.


Setelah itu saya jadi bertanya pada diri sendiri,  seberapa berani saya menjadi diri sendiri Wallahu'alam. Apalagi kalau mengingat awal saya dulu kuliah konseling pun by accident, dalam kondisi keterbatasan berpikir, namun ingin memperbaiki diri masih belum maksimal, memperbaiki keadaan lebih ga berdaya lagi, jadi meneruskan kuliah adalah ikhtiar yang paling mungkin dilakukan di masa itu.


Meski saat di titik lelah, kadang ada masanya ingin memutuskan berhenti jadi konselor saja deh, karena saya merasa masih banyak luka batin yang kayaknya belum betul-betul luruh, apakah orang seperti saya layak jadi konselor betulan?, tanya saya dalam hati seraya memandangi ijazah :-D.


Tapi.... ya sudahlah....keep going and keep growing aja deh, even though... masih jauh masuk ke titik the real me, tapi hidup harus terus berjalan. 


Rezeki terbesar adalah saat dimampukan Alloh untuk memperbaiki diri, etapi... kalau pun belum bisa betul-betul baik, tokh ilmu konselingnya mah milik Alloh kan ya, bahagia rasanya saat ilmu Alloh ini terpakai untuk membuat orang menjadi optimis terhadap hidupnya, meski masalah dia tidak langsung selesai dengan instan, at least... dengan ilmu ini seseorang tetap positif dalam memandang hidup dan mampu berkarya.


Katanya.... proses hijrah memang seumur hidup, semoga Allah bimbing saya semakin lebih baik dari hari ke hari. Aamiin Ya Rabbal'alamiin.



Comments

Popular posts from this blog

Catatan Workshop Psikodrama , Jakarta, 3 -4 Februari 2024

Giveaway "Bahagia Ketika Ikhlas"

Review "Out of The Truck Box"