Review milad pernikahan ke-1 (part 3 - end)

http://renapuspa.blogspot.com/2022/02/review-milad-pernikahan-ke-1-part-1.html


 http://renapuspa.blogspot.com/2022/03/review-milad-pernikahan-ke-1-part-2.html


Alhamdulillah.... akhirnya masuk ke postingan terakhir niih, yang belum sempet baca tulisan-tulisan  sebelumnya, boleh langsung klik aja 2 link di atas yaa.






Beberapa saat setelah aku menulis tentang doa minta jodoh, jujur aja.... aku deg-degan luar biasa. Bukan deg-degan soal orangnya siapa, justru lebih deg-degan takut Allah kasih ujian-ujian pengiringnya dan aku gagal upgrading diri, akhirnya rasa PD ku bakal meluncur drastis jauuuh ke titik sebelum aku memutuskan merenda doa minta jodoh. 


Dan....jeng...jeng....beberapa bulan setelah aku menulis doa itu, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang gigih sekali mengejar untuk memintaku jadi istri, tapiiiiii..... untuk jadi istri ke-2, daaaan.... tidak lama setelah itu, tiba-tiba ada seorang wanita yang terus-menerus mengejarku juga untuk memintaku jadi istri ke-3 suaminya. 


Helllooooo..... kagak ada orang laiiin napeee? pikirku saat itu dengan marah. Tanpa babibu... langsung aku block kedua orang itu.


Saat itu... aku marah pada Allah, dengan tanpa tedeng aling-aling aku ngomong ke Allah dalam doa... "Ya... Allah... apa-apaan ini teh, sekalinya aku berdoa minta jodoh, kok didatangkannya yang begitu? emangnya kurang gimana lagi aku memperbaiki diri? Emangnya aku seburuk itu ya, sampai harus didatangkan orang-orang ga jelas sebagai jawaban dari doa minta jodoh".


Setelah kemarahanku mereda, dan aku punya banyak waktu untuk merenung, ternyata lubuk hati terdalam terpanggil untuk berburu pesan cintaNya dengan didatangkannya orang-orang tersebut. 


Ah... got it, bisa jadi Allah mendatangkan orang-orang tersebut untuk mendamaikan kemarahanku dengan kegagalanku di pernikahan di masa lalu. 


Bahwa ... poligami dalam Islam itu memang benar-benar ada, dan aku tidak boleh mengingkari sunnah itu.

Bahwa ... apa yang aku perjuangkan melalui jalan perceraian adalah tidak nyambung sama sekali dengan sunnah poligami, meski mantan suamiku dulu memutuskan menikah lagi. 

Bahwa ... ngga apa-apa kok aku tidak memilih menjadi pelaku poligami, kalau memang aku tidak mampu.

Bahwa ... diterima atau tidaknya ibadah modalnya adalah keikhlasan, yaitu kita harus bisa memastikan sanggup mengeja nama Allah saat menunaikan ibadah tersebut dari awal sampai akhir. So...kalau dari awal saja aku sulit mengeja nama Allah jika harus memaksakan diri menjadi pelaku poligami dalam kondisi kebutuhanku untuk memperbaiki diri tidak tercover, aku betul-betul takut sekali akhir hidupku tidak khusnul khotimah karena aku tidak sanggup mengeja nama Allah saat napas terakhirku nanti.


Alhamdulillah, hati terasa lebih tenang, saat sudah berhasil mendapat insight seperti itu, dan kemarahanku terhadap masa lalu pun ikut mereda. Aku memaafkan semua ketidakmampuan diri ini di masa lalu, dan aku juga memaafkan kemampuan memaafkanku yang mungkin baru berhasil di titik tersebut.  


Tapi setelahnya, mulai muncul lagi keraguan soal doa minta jodoh, lalu aku memilih sibuk membuat target ini dan itu, seraya dalam hati berbisik... "Ya Allah... aku belum siap bertemu orang-orang aneh lagi kalau doa minta jodoh ini aku teruskan, izinkan aku merenda istigfar dulu deh, dan kuatkan aku untuk tidak lelah memperbaiki diri". Lalu aku kembali tenggelam dalam kesibukan, kebetulan saat itu kuliah masterku tinggal selangkah lagi menuju kelulusan. 


Setelah itu hidup seolah terus berlari....move...move...move. Finally... kuliah master selesai, namun aku mengalami lelah mental, semua target tercapai, namun... mengapa rasa bahagia menjadi berkurang. 


Dalam kondisi seperti itu tanpa sengaja aku membaca postingan almarhum Ust Harry Sentosa perihal efek buruk anak yang hidup dalam pengasuhan seorang single mom, solusinya adalah.... segera menikah lagi.


Entahlah.... dalam kondisi lelah, postingan tersebut justru seperti tetesan air jeruk yang membuat luka semakin perih. Fakta yang sebenarnya ingin aku hindari seolah terpampang nyata, dan aku tidak bisa menghindar lagi. Padahal setelah gelar master berhasil aku raih, aku sudah mengincar beberapa kemungkinan untuk ambil PhD, dan mulai membuat target-target pencapaian lainnya di dunia self improvement, yang setelah aku telusuri lebih dalam ternyata strong why nya hanya karena aku sedang melarikan rasa khawatirku akan masa depan anak-anak jika besar tanpa sosok ayah yang menemaninya.


Selain itu semua aktivitasku tersebut hanya untuk melarikan luka agar tidak melukai anak-anakku, tanpa aku sendiri berjuang menjeda diri demi mendamaikan semua luka-luka tersebut sehingga aku bisa menemani anak-anak mendamaikan luka-lukanya juga. Tapi... sungguh bukan hal yang mudah, ibaratnya aku dan anak-anak sedang terdampar di lautan lepas, tidak mungkin aku bisa menyelamatkan anak-anak sedangkan diriku pun nyaris tenggelam, so... yang harus dilakukan adalah aku terus mengayuh tangan dan kaki agar aku bisa terapung, mengejar cahaya, next step.... baru aku bisa menyelamatkan anak-anak. 


But at the end.... akhirnya aku harus mengakui bahwa aku butuh sosok pembasuh luka, sehingga peranku sebagai ibu bisa maksimal. Daripada aku baper membaca postingan almarhum ust Harry, dan sibuk khawatir dengan masa depan anak-anakku, lebih baik aku mengakui saja jujur di hadapan Allah, sudah saatnya aku menurunkan ego, bahwa.... Yes... I do... aku butuh suami, Ya... Rabb. Bukan semata-mata meminta sang suami menolong saya dan anak-anak. No... bukan, tapi lebih karena ternyata aku butuh memiliki aktivitas taat suami, dalam rangka taat kepada Allah sehingga setelah itu Allah aktifkan kembali pabrik cinta dalam hati ini, dan peranku sebagai ibu bahagia bisa terpancar. That's all. Because I know... suami hanya seolah mahluk dhoif yang memiliki cinta terbatas, so... aktivitas taat suami hanyalah caraku mengundang cintanya Allah.


Akhirnya.....selama kurang lebih 1 bulan aku sholat tahajud dan menangis meminta ampun, apabila selama jadi single mom aku sering merasa hebat menjaga anak-anak, sering merasa aku lah yang bisa memberi mereka bahagia, sehingga anak-anak harus sibuk berjuang sendiri mendamaikan luka-lukanya, tanpa sadar sikapku itu justru menjadi penghalang utama anak-anak menemukan bahagianya, yaitu journey bahagia mereka untuk mengeja Allah dalam hatinya. Sikap posesifku pada anak-anak lah yang justru membuat anak-anak tidak bahagia.


Dalam doa saat shalat tahajud aku juga menangis, ingin menjadi pengikut rasul, dan kebanyakan sahabat-sahabat rasul yang bisa memberi banyak kekuatan pada kejayaan Islam kok pada menikah. So... kalau aku sampai mengingkari pernikahan, aku takut sekali tidak dianggap pengikut rasul. 


Namun... dalam akhir doa, aku menyebutkan dengan detail kriteria calon suamiku, dengan tegas aku curhat ke Allah, bahwa masa lalu ku lumayan berat, plus aku punya dream ke surga yang tinggi, so... aku butuh kriteria suami (A sampai Z). Bukannya aku sombong mematok kriteria sedetail itu, aku hanya memastikan aku dan suamiku akan terus beriringan sampai ke surga dengan paket masalah yang aku miliki, kalau kriterianya tidak seperti ini, aku takut banget tidak bisa taat padanya, so... gagal deh cita-citaku menjadi pengikut rasul sampai akhir hayat... heuheu.


Setelah berdoa begitu, aku jadi stres sendiri, karena mendadak takut sakit hati dengan doaku sendiri hahahah, karena aku nyadar diri bahwa aku wanita rumit dengan segudang masalah, mana ada laki-laki single yang sanggup hahah. Tapi... ternyata ibadah terberat yaitu berprasangka baik pada Allah, kan Allah Maha Segala, selama permintaanku jelas tujuannya apa, kun fayakun... ga ada yang ga mungkin buat Allah. Meski begitu...memaksa diri untuk tetap berpersangka baik pada Allah disaat hati pabeulit itu tidak mudah loh hahaha.


Dan.... jeng...jeng... ternyata tidak lama setelah berdoa itu, sahabat baikku tiba-tiba menyodorkan calon, dan .... Allahu Akbar... ternyata beneran asli kriteria yang aku patok ada pada dirinya, terlepas dari segudang kekurangannya, ya... kelebihan-kelebihan dia memang betul-betul bisa mengisi  lubang-lubang pada diriku dan memenuhi kriteria calon suami yang aku patok sebelumnya. Untuk mensiasati kekurangan-kekurangannya, so... aku memang harus nge list kelebihanku agar bisa menambal lubang-lubang pada dirinya. Sebab, pernikahan itu seperti sebuah puzzle yang saling melengkapi, bukan? 


Selama 1 tahun ini, yang terasa memang cukup roller coaster, tapi... finally I realize ... this is my journey to find the true love to Allah. Yang pasti mah, masih perlu amat sangat banyak doa agar pernikahan ini memang betul-betul bisa menjadi kendaraan mengeja Allah sampai ke surga nanti. Closing tulisan ini aku ingin mengutip quote Ibnul Qayyim Al-Jauziyah :


 "Andaikan kamu tahu bagaimana Allah mengatur urusan hidupmu, pasti kamu akan meleleh karena cinta kepada-Nya."



Bunga di atas seolah hadiah cinta dari Allah atas kegigihan kita berdua melakukan asah potong diri edisi menstabilkan bahtera pernikahan yang masih unyu inih hihi. Aslinya....bunga mawar itu aku beli saat dulu aku kelelahan berburu tabung oksigen pas mertua kena covid, edisi ingin mencintai diri ini tanpa harus menunggu suami yang dulu sibuk kerja hihih. Etapi... setelah aku beli bunga itu, lalu aku malas merawat tea, dan sering lupa disiram sampe hampir mati hahaha, dan akhirnya tugas menyiram justru diambil alih suamiku. Yang amazingnya...beberapa minggu setelah wedding anniversary kita yang ke-1, tiba-tiba bunga mawar yang hampir mati itu pun berbunga sempurna, masya allah... tabarakallah. Serasa dikasih hadiah pernikahan langsung oleh Allah heuheu.



Yah... begitulah... journey saya selama setahun pernikahan ini, insya alloh tahun depan mau meng evaluasi lagi. Doakan kami langgeng yaaaa.... Aamii Ya Rabbal'alamiin.

Comments

Popular posts from this blog

Catatan Workshop Psikodrama , Jakarta, 3 -4 Februari 2024

Giveaway "Bahagia Ketika Ikhlas"

Review "Out of The Truck Box"