My Inner Journey (Part 3)



Sebenarnya tulisan ini masih sambungan My Inner Journey (part 2), boleh baca di link ini (https://renapuspa.blogspot.com/2022/01/my-inner-journey-part-2.html ) kali ini saya ingin bercerita tentang sepasang suami istri si pemilik rumah tahfidz yatim dan dhuafa.


Sebelum saya pulang, saya berkesempatan mengobrol sejenak dengan pasangan suami istri sang pemilik rumah tahfidz tersebut. 


Mereka bercerita, sejak sebelum menikah mereka memang punya passion untuk membina anak-anak terlantar, padahal background mereka bukan dari psikologi atau konseling. Panggilan jiwa yang membuat mereka seolah terpanggil untuk terjun dengan pilihan hidup seperti sekarang. Tapi mereka bilang, ternyata ada masa-masanya frustrasi menyerang, terutama saat murid-murid tahfidz membuat ulah yang diluar kewajaran, itulah sebabnya mereka memanggil saya untuk menemani mereka secara keilmuan. 


Mengelola rumah tahfidz biasa dengan rumah tahfidz dhuafa tuh totally different. Karena mereka betul-betul bergerilya, blusukan menjemput bola, demi ingin menyelamatkan anak-anak dari rantai kekerasan orang-orang terdekatnya. 


Ada yang ditemukan di kolong jembatan dengan kondisi orangtuanya entah dimana, ada yang ditemukan saat hampir digorok lehernya oleh orangtuanya sendiri, ada juga yang ditemukan saat sedang duduk menggigil sendirian setelah melihat dengan kepalanya sendiri ibunya meninggal gantung diri di depan matanya.

 

Huff.... mendengarnya pun kepala saya mendadak ngilu, tidak terbayang rasanya kalau saya ikut blusukan menjemput bola mencari anak-anak tersebut.


Kegiatan belajar rumah tahfidz biasa kan anak-anak memang dalam kondisi sudah ready untuk menghafal qur'an, berbeda jauh kondisinya dengan murid-murid yang ada di rumah tahfidz dhuafa ini,  meski mereka semua mendapat fasilitas free, tapi untuk sekadar membuat hidup mereka teratur saja sulitnya luar biasa, bahkan ada yang mendadak kabur, atau menyerang guru dan teman-temannya. 


Dalam hati saya bergumam, saya aja yang lulusan master konseling, masih sering ragu untuk membantu orang, karena sadar diri residu luka saya masih banyak, jadi...saat membantu pun saya masih banyak ragu-ragunya, lebih karena takut aja luka-luka dari diri saya malah nyerang klien, lalu sesudahnya kami terluka bersama deh heuheu.


Meski... dalam lubuk terdalam, terselip rasa iri, duh ... Ya Allah... mereka yang belum punya pendidikan psikologi dan konseling, kok bisa ya sudah berani melangkah menjemput kebaikan sebanyak itu, lalu kenapa saya ragu-ragu terus heuheu.


Etapi.... ya sudahlah.... daripada sibuk iri dan ragu-ragu, saya terus melangkah saja, menerima amanah apapun dari Allah sebagai jalan penggugur dosa. 


Aamiin Ya Rabbal'alamiin





 

Comments

Popular posts from this blog

Review Milad Pernikahan ke-2 (Part 1)

Review "Out of The Truck Box"

Adlerian Therapy (Alfred Adler 1870 - 1937)